Pagi-pagi, nonton
tv, muncul iklan. Buka handphone dan sosmednya, muncul iklan. Berangkat kerja,
mendengarkan radio, ada iklan. Di sepanjang jalan, melihat kiri kanan,
terpampang iklan mulai dari banner sampai baligo besar. Sampai di kantor, buka internet,
ada pop up iklan. Begitulah hidup kita, dari bangun tidur, terlelap sampai
kemudian bangun lagi keesokan harinya,
iklan dimana-mana. Disadari atau tidak pola hidup kita sangat dipengarui
oleh berbagai macam iklan, baik visual maupun verbal.
Berbagai
kecanggihan yang ditawarkan, membuat semua sisi hidup kita dipengaruhi hal
tersebut. Tidak dapat disangkal, kecerdasan sang pembuat iklan sangat
mempengaruhi berbagai keputusan yang kita ambil. Mulai dari apa yang kita makan
sampai ke sekolah dan pelajaran apa yang seharusnya diberikan kepada anak pun
tak luput dari pengaruhnya.
Pada akhirnya
konsumerisme merajalela di berbagai kalangan. Merasa kurang rasanya jika kita
tidak upload makanan yang kita makan. Tidak puas rasanya jika kita tidak update
barang terbagus yang bisa kita punya. Kurang update rasanya jika tidak
mendatangi suatu tempat baru yang sedang booming diposting orang. Dari sisi
positif, ambilah pikiran bahwa semua orang berusaha mengupload segala sesuatu
sesuai dengan kemampuannya. Tapi sisi negatifnya, terlalu banyak orang yang
kemudian memaksakan agar terlihat wah oleh orang lain.
Sekuat itu daya
pikat iklan yang bisa dilihat. Sebagai bagian dari pemasaran yang baik, hal itu
merupakan keberhasilan seorang pemasar. Dengan tampilan foto bagus, kata-kata
yang menarik, artis brand ambassador terkenal, kemudahan untuk berbelanja dengan debit
card atau credit card, diskon dan sale di detiap musim, semua dilakukan agar apa yang dipasarkan dapat menghasilkan penjualan yang
baik, tidak peduli bagaimana daya beli masyarakat atau apakah yang dijualnya
itu adalah kebutuhan primer, sekunder atau tersier bagi pembelinya.
Kemudian
masalah yang lain, dalam banyak kasus kita seringkali menemukan iklan yang
mengaitkan produknya dengan masalah sosial. Misalkan dengan membeli suatu
produk, kita telah berkontribusi untuk pelestarian lingkungan, pemberantasan
kemiskinan, dll. Sesuatu yang sebenarnya bukan menjadi tujuan utama para
produsen. Strategi ini biasanya sukses memanipulasi cara berpikir masyarakat
agar terus berbelanja dan membeli produk yang ditawarkan.
Dampak
negatif lain dari konsumerisme yang luput dari perhatian kita adalah persoalan
lingkungan. Studi yang dilakukan oleh Worldwatch Institute menyebutkan bahwa
peningkatan konsumsi masyarakat telah memicu berbagai persoalan lingkungan
mulai dari habisnya sumber daya mineral, polusi, hingga perubahan iklim.
Lalu bagaimana
caranya agar sifat konsumtif tidak menjajah diri kita?
Saya tidak bisa
menutup mata bahwa sebagai perempuan, selalu saja kurang rasanya apabila tidak
mengikuti trend. Atau ketika mendapatkan undangan suatu pesta langsung berkata
“tidak ada baju bagus” padahal baju sudah penuh sesak di lemari. Iya, itulah
konsumerisme. Sifat konsumtif yang seringkali tidak disadari.
Salah satu yang
saya lakukan, melihat kembali kepentingan apa yang menjadi kebutuhan mendasar
kita. Apakah hal tersebut benar-benar kita butuhkan atau tidak, masuk akal atau
tidak. Karena tidak mungkin kita menghindari keberadaan tv, radio ataupun media
social lain.
Satu hal yang
paling berdampak atas sifat konsumtif ini adalah dengan membiasakan diri
menabung sebagai kewajiban. Jadi bukan menabung sisa belanja, tapi mengubah
polanya menjadi membelanjakan sisa penghasilan setelah ditabung. Dengan begitu,
tidak ada kata lagi penyesalan karena membeli barang yang sebenarnya tidak
dibutuhkan.
Kita juga harus
berani memutuskan kebijakan finansial berdasarkan keinginan kita sendiri tanpa
merasa terbebani oleh tuntutan pergaulan dan gaya hidup masyarakat modern.
Sepanjang kita terbebas dari tekanan sosial dan jebakan iklan, saya yakin kita
bisa membangun standar kebahagiaan kita masing-masing tanpa harus merasa
ketinggalan zaman. Menjadi konsumen yang tidak konsumtif.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar