Tulisan seperti ini
mungkin sudah banyak yang membahasnya, tapi saya betul-betul masih mau
membahasnya. Maafkan yaa,,,
Bulan Juni lalu kedua
anak saya menerima Report Book dari sekolahnya Al Azhar Syifa Budi Parahyangan.
Melihat keduanya dapat nilai-nilai yg alhamdulillah bagus sementara tidak
tercantum info ttg rangking, saya tergoda bertanya ke salahsatu gurunya. “Anak
saya ranking berapa, Bunda?”. “Kenapa bunda?”,jawabnya. (Weleh, salah apa ane
gan, batin saya.) “Anda sangat suka sekali berkompetisi. Di level ananda, tidak
ada rangking-rangkingan bunda. Tidak ada kompetisi. Kami mengajari mereka
tentang cooperation alias kerjasama. Mereka harus bisa bekerja dalam team work
dan mereka harus bisa cepat bersosialisasi dan beradaptasi. Mereka harus punya
banyak teman. Hanya saja untuk tiap kenaikan kelas, dari tiga kelas tiap
grade kami menyaring satu kelas untuk melanjutkan ke grade berikutnya dengan
prestasi minat bakat yang menonjol.
Sedih ya, saya jadi ingat
kegiatan di kantor, jarang ada yang namanya ”How can I help you”, seperti
jegal-jegalan, seperti berkata “Coba kalau tidak ada saya?” Sehingga terlihat
dengan jelas bagaimana strata penghasilan berbagai pekerjaan dan berbagai
pekerjaan yang tidak dihargai. Terlihat jelas bagaimana cara orang menghargai
seorang pimpinan dengan menghargai seorang office boy di kantor. Ataupun dengan
mendengar orangtua yang memarahi anaknya ketika anaknya malas belajar dengan
mengatakan “Kamu mau jadi apa nanti? Apa cukup dengan tidak mempunyai ijazah
kamu menjadi seorang office boy?” Padahal di negeri ini, seorang office boy
saja minimal sudah harus tamatan sekolah menengah atas. (seakan-akan sekolah
itu menjadi sesuatu yang formalitas ya). Seandainya semua orang boleh mencari
penghidupan sesuai passionnya, sehingga semua bidang kehidupan sangat
berkembang maju karena diisi orang2 yang bekerja dengan gairah dan bisa saling
menghargai satu sama lain, sehingga terciptalah suatu kondisi yang sangat
kondusif di lingkungan kerja.
Pendidikan di negeri
saya sangat kompetitif. Banyak orangtua yg narsis memajang prestasi
anak-anaknya di sosmed. Tanpa disadari sebagian dari mereka nanti akan tumbuh
menjadi orang-orang yang terlalu suka berkompetisi dan lupa bekerjasama. Kiri
kanannya dianggap saingan dan dirinya harus menjadi yang terbaik. Mending kalo
dia mengembangkan dirinya supaya menang persaingan, yang ada kadang mereka
menunjukkan baiknya dirinya dengan cara menungkapkan jeleknya orang lain. Kalo
bukan kita siapa lagi, begitu jargonnya…, betapa arogannya, seakan-akan yang
lain tidak mampu dan hanya dia yang mampu. Sakit mentalnya….Bapaknya yang
berkesempatan sekolah di sekolah-sekolah yang konon terbaik di tanah air
sebenarnya juga pernah kena sindrom yang sama. Bagaimana tidak? Setiap hari
dicekoki bahwa anda putra terbaik bangsa, calon pemimpin masa depan dll selama
bertahun-tahun. Semua dimulai dari sekolah, dari rumah. Belajar di manapun
adalah tempat mengajari anak-anak kita tentang kerjasama, bukan kompetisi.
Anak-anak harus bisa bekerjasama dengan teman-temannya. Belajar untuk
beradaptasi, bersosialisasi dengan berbagai keadaan yang dihadapinya. Belajar
bukan untuk bersaing dan menjadikan teman sebagai musuh atau lawan. Tapi
belajar untuk menghimpun kekuatan antara satu dengan yang lainnya, membangun
harmoni dalam tiap perbedaan. Belajar itu, sungguh lebih penting untuk
mengajari anak-anak kita agar mampu mengungkapkan isi pikiran dalam bahasa yang
terstruktur dan sistematis. Bahasa yang bisa dimengerti banyak orang dalam arti
yang sama. Belajar untuk menyamakan logika dalam setiap kalimat yang mereka
ucapkan.
Entah kapan semua orang
sadar bahwa hidup bukan melulu soal menang dan kalah, tapi tentang membangun
kerja sama.
COOPERATION WORK FOR
HUMANS, NOT COMPETITION.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar